Kebijakan Sosial Berbasis Budaya: Merawat Ketahanan Sosial Melalui Pendekatan Komunitas

Nasional, opini918 Dilihat

Oleh: Mira Syahraini. SE.MM.CFrA

Dalam era globalisasi dan digitalisasi yang semakin meluas, masyarakat Indonesia, khususnya generasi muda  menghadapi tekanan nilai dan perubahan sosial yang kompleks. Arus informasi yang tak terbendung, pergeseran gaya hidup, dan krisis identitas yang dialami sebagian kalangan muda telah menimbulkan kekhawatiran terhadap lunturnya nilai-nilai moral, budaya, dan keagamaan yang selama ini menjadi fondasi kehidupan sosial bangsa.

Fenomena ini memerlukan kebijakan yang strategis, edukatif, dan berakar pada kearifan lokal. Salah satunya adalah kebijakan sosial berbasis budaya menjadi solusi relevan dan konstruktif.  Kebijakan ini bertumpu pada kekuatan komunitas: keluarga sebagai pilar pertama pendidikan moral; lembaga adat dan budaya sebagai penjaga jati diri; serta masyarakat sebagai ruang hidup tempat nilai-nilai diwariskan dan diterapkan. Melalui pemberdayaan komunitas dan revitalisasi nilai lokal, kita tidak hanya menjaga ketahanan sosial, tetapi juga menyiapkan generasi masa depan yang kokoh dalam nilai, tangguh dalam identitas, dan bijak dalam menghadapi perubahan zaman.

Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah: bagaimana agar kebijakan sosial berbasis budaya tidak berhenti sebagai wacana ideal, melainkan benar-benar hadir dalam tindakan nyata? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat dua aktor utama dalam pelaksanaan kebijakan: pemerintah sebagai penyelenggara yang menjamin hak-hak warga negara menuju kesejahteraan sosial yang adil, dan masyarakat sebagai pelaku partisipatif yang turut serta dalam proses perumusan hingga implementasi kebijakan. Berikut ada sejumlah langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mewujudkan hal ini, antara lain:

Pertama, Institusionalisasi Program di Level Pemerintahan Daerah. Kebijakan tidak cukup sebatas naskah indah, tetapi harus diikat dalam struktur. Pemerintah daerah perlu menyusun Peraturan Daerah (Perda) atau Peraturan Wali Kota/Bupati yang mewajibkan pengarusutamaan nilai budaya lokal dalam program pendidikan, sosial, dan kepemudaan. Selanjutnya, pembentukan Tim Gugus Tugas Ketahanan Sosial Berbasis Budaya, yang terdiri dari tokoh adat, tokoh agama, akademisi, dan perwakilan pemuda. Lebih penting lagi menyisipkan kebijakan ini dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) agar menjadi bagian dari visi resmi pembangunan.

Kedua, Revitalisasi Peran Komunitas dan Lembaga Adat. Peran komunitas dan lembaga adat harus diperkuat, dimana lembaga-lembaga ini bukan hanya sekadar simbol, tetapi mereka harus difungsikan sebagai aktor sosial. Pemberdayaan lembaga adat untuk aktif dalam pembinaan generasi muda. Balai adat, surau dan sanggar budaya dihidupkan sebagai ruang pendidikan moral dan karakter. Kemudian, menjadikan komunitas budaya sebagai mitra resmi Dinas sosial dan pendidikan.

Ketiga, Integrasi Nilai Budaya dalam Pendidikan Formal dan Nonformal. Integrasi nilai budaya penting dilakukan dalam dunia pendidikan agar generasi muda mengenal budaya lokal sedari dini, dan dapat menginternalisasi dalam karakter mereka. Ini dapat dilakukan dengan menerapkan pendidikan karakter berbasis nilai budaya lokal untuk diterapkan mulai dari tingkat SD hingga SMA. Pemerintah daerah bisa berinisiatif menyelenggarakan Sekolah Adat atau Kelas Budaya sebagai pendidikan alternatif yang mengajarkan nilai-nilai moral, filosofi hidup, dan sejarah lokal. Kemudian, melatih guru dan tenaga pendidik untuk memahami dan mengintegrasikan pendekatan budaya dalam proses pembelajaran.

Keempat, Pemberdayaan Pemuda dalam Aktivitas Kultural yang Relevan. Keterlibatan pemuda perlu dilakukan untuk menyampaikan pesan-pesan budaya, seperti melalui kompetisi kesenian tradisional, pidato adat, fashion etnik, dan literasi budaya yang menarik bagi remaja. Pemerintah daerah bisa memberikan insentif (beasiswa, magang, promosi media) bagi pemuda yang aktif dalam pelestarian budaya, dan menyemarakkan kampung budaya digital yang memadukan kearifan lokal dengan teknologi.

Kelima, Penyediaan Layanan Sosial Berbasis Kultural dan Spiritual sebagai tempat ketahanan sosial masyarakat, seperti, mendirikan Pusat Konseling Sosial dan Spiritual di tiap kecamatan, yang dikelola oleh psikolog, ulama, dan tokoh adat. Kemudian menyediakan ruang bimbingan untuk remaja dengan dialog budaya dan agama sebagai inti proses pembinaan.

Keenam, Monitoring dan Evaluasi Partisipatif. Setiap kebijakan perlu dilakukan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi demi jalannya program ketahanan sosial berbasis komunitas. Ini tidak bisa hanya dilakukan oleh Pemerintah saja, tetapi dibutuhkan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik masyarakat, akademisi, lembaga masyarakat, dan pihak-pihak filantropi lainnya. Oleh karena itu Pemerintah perlu membentuk  mekanisme evaluasi partisipatif yang melibatkan pemerintah, masyarakat adat, guru, pemuda, pemuka agama, dan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya. Bahkan, Pemerintah daerah dapat melakukan audit program ketahanan sosial secara berkala untuk menilai dampak nyata kebijakan terhadap ketahanan sosial, penurunan kasus penyimpangan, dan peningkatan partisipasi budaya.

Sebagai penutup, kebijakan sosial berbasis budaya harus diwujudkan sebagai gerakan kolektif yang hidup, bukan hanya sebagai inisiatif dari atas (top-down) oleh pemerintah, tetapi juga sebagai dorongan dari bawah (bottom-up) yang tumbuh dari masyarakat dan semua elemen yang peduli terhadap masa depan sosial bangsa. Ketahanan sosial tidak boleh terjebak dalam tumpukan dokumen atau meja birokrasi, melainkan hadir nyata di tengah kehidupan masyarakat. Ia harus menjadi napas dalam perilaku sehari-hari, membimbing generasi muda agar tidak tercerabut dari akar budayanya, tidak terombang-ambing dalam disorientasi nilai, dan tidak hanyut dalam gaya hidup instan yang mengikis spiritualitas serta identitas kebangsaan mereka.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *