Kota Bukittinggi merupakan salah satu kota yang tergolong maju di Provinsi Sumatera Barat. Berdasarkan Pelaporan BPS Tahun 2024, bahwa laju pertumbuhan ekonomi (PDRB) di Kota Bukittinggi pada tahun 2023 sebesar 4,79 persen berada pada urutan ke–empat di Sumatera Barat dan berada di atas rata-rata PDRB Sumatera Barat. Indeks Pembangunan Manusia (yang mencakup faktor Kesehatan, Pendidikan, dan Ekonomi individu) mencapai nilai 81,78 berada pada urutan kedua untuk Kabupaten/Kota se-Sumatera Barat. Sedangkan tingkat kemiskinan berada pada angka 4,11 % yang menunjukkan penurunan masyarakat miskin dibandingkan tahun sebelumnya. Ini artinya dari aspek sosial kemasyarakatan, Kota Bukittinggi sudah cukup sejahtera.
Namun, keberhasilan di beberapa sektor sosial dan ekonomi belum sepenuhnya diikuti oleh tercapainya seluruh target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) secara merata dan terpadu. Hasil pencapaian TPB menunjukkan bahwa sebanyak 25,23 % indikator TPB tidak mencapai standar nasional, sebanyak 23,42 % tidak dilaksanakan. Ini artinya sebanyak 48,65% indikator TPB tidak tercapai, dan hanya 45,95 % indikator TPB yang telah mencapai standar (KLHS, 2024). Sebagaimana diintruksikan dalam Perpres No 59 tahun 2017 bahwa Tujuan Pembangunan Berkelanjutan merupakan komitmen pemerintah dalam menjaga peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat, kehidupan sosial, pembangunan yang inklusif dan kualitas lingkungan hidup secara berkesinambungan, serta terlaksananya tata kelola yang mampu menjaga peningkatan kualitas kehidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, Kinerja berkelanjutan Kota Bukittinggi ini tidak bisa diabaikan. Hasil evaluasi ini menandakan bahwa kondisi riil yang terjadi yakni keberlanjutan Kota Bukittinggi di aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk saat ini dan masa depan berada dalam keadaan yang penuh tantangan.
Kondisi riil menunjukkan beberapa fakta. Pertama, dari aspek lingkungan, yakni ketiga sungai utama yang melintasi Kota Bukittinggi ; Batang Tambuo, Batang Sianok, dan Batang Agam mengalami penurunan debit dan penurunan kualitas air setiap tahunnya, yang disebabkan oleh permasalahan tutupan lahan dan pembuangan limbah. Kualitas Lahan Kota Bukittinggi termasuk kategori “waspada”, karena sebagian besar wilayah Kota Bukittinggi merupakan lahan terbangun dan tidak mempunyai tutupan lahan. Begitu juga untuk daya dukung lingkungan hidup berada pada kategori sangat rendah (KLHS, 2024).
Kedua, aspek ekonomi, bahwa Bukittinggi belum berkelanjutan karena belum memiliki kemandirian fiskal yang memadai. Persentase PAD terhadap pendapatan daerah rata-rata adalah 14,97% yang menunjukkan peranan pemerintah pusat sangat dominan kepada daerah. Indeks gini (tingkat ketimpangan pendapatan) Kota Bukittinggi terus mengalami kenaikan, dimana Indeks Gini Kota Bukittinggi tahun 2022 sebesar 0,317 melebihi nilai indeks rata-rata Provinsi Sumatera Barat. Kontribusi sektor pertanian juga mengalami penurunan tiap tahunnya, sehingga mengkhawatirkan ketahanan pangan di masa datang. Diversifikasi ekonomi juga belum terjadi, dimana hanya mengandalkan sektor pariwisata dengan sektor pendukung utama adalah perdagangan makanan dan minuman. Sementara itu, pariwisata berkelanjutan yang menciptakan lapangan kerja dan mempromosikan budaya dan produk lokal masih belum tercapai.
Dari aspek sosial, banyaknya isu sosial seperti degradasi moral, pengamen jalanan dan pengemis, penyimpangan seksual, kekerasan terhadap perempuan, dan masalah sosial lainnya membutuhkan ketahanan sosial budaya melalui implementasi nilai-nilai agama, adat dan tradisi. Dari aspek pelayanan umum, dapat diketahui bahwa belum meratanya akses air minum yang bersih dan layak untuk masyarakat, serta masih kurangnya air bersih penduduk perkotaan menjadi tantangan utama. Ini disusul dengan pengelolaan persampahan yang belum inovatif dan partisipatif.
Isu-isu keberlanjutan diatas merupakan beberapa contoh dari masalah-masalah yang telah teridentifikasi. Tentu, ini menjadi masalah serius karena dapat mengancam kualitas kehidupan masyarakat bukittinggi, dan masyarakat sekitarnya saat ini dan saat yang akan datang. Oleh karena itu, tanggung jawab semua pihak secara inklusif harus dioptimalkan baik itu oleh Pemerintah daerah, Parlemen, masyarakat, Akademisi dan Pakar, Filantropi dan Pelaku Usaha, Organisasi Masyarakat Sipil, dan Media.
Fokus utama diarahkan pada peran Pemerintah dalam melaksanakan amanat Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB). Hal ini karena pemerintah merupakan aktor utama yang memiliki mandat hukum, kewenangan anggaran, serta kapasitas institusional untuk merancang arah pembangunan dan memastikan keterpaduan antar sektor. Dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), pemerintah bertanggung jawab dalam menyusun kebijakan, menetapkan prioritas pembangunan, mengalokasikan sumber daya, serta mengembangkan sistem pemantauan dan evaluasi. Peran pihak lain seperti swasta, masyarakat sipil, dan akademisi juga tak kalah penting penting, namun kontribusi mereka akan lebih efektif jika didukung oleh kerangka kebijakan yang jelas dan koordinasi yang kuat dari pemerintah. Oleh karena itu, peran pemerintah terlebih merupakan langkah strategis untuk memastikan bahwa fondasi tata kelola pembangunan berkelanjutan telah terbentuk secara kokoh dan terarah.
Oleh karena itu, sebagai solusi praktisnya bahwa pada RPJMD harus menjabarkan secara eksplisit indikator dan target TPB yang relevan dengan isu-isu lokal, sehingga menjadi acuan dalam menyusun program prioritas, indikator kinerja daerah, serta pengalokasian sumber daya. Saat ini merupakan momentum yang tepat, dimana bertepatan dengan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) 2025–2045 dan RPJMD 2025-2029, yang harus disusun sejalan dengan visi besar Indonesia Emas 2045. Hal ini sesuai dengan Visi Kota Bukittinggi yakni” Bukittinggi Gemilang, Berkeadilan dan Berbudaya”. Gemilang berarti sebuah tatanan kehidupan yang maju, modern, inklusif dan berkelanjutan. Maka, visi misi besar ini seharusnya diturunkan secara tepat dan terukur dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) ke dalam RPJMD, strategi kelembagaan, dan sistem manajemen kinerja ASN.
Namun pada kenyataannya, RPJMD di beberapa daerah selama ini belum sepenuhnya representatif dalam mewadahi substansi TPB. Banyak indikator TPB yang bersifat lintas sektor masih terfragmentasi dalam perencanaan, atau bahkan tidak diakomodasi secara eksplisit dalam sasaran dan program prioritas. Hal ini menyebabkan pembangunan daerah berjalan seperti puzzle yang belum lengkap: ada potongan-potongan kemajuan, namun belum membentuk gambaran besar pembangunan yang utuh, inklusif, dan berkelanjutan. Lalu, bagaimana seharusnya RPJMD dirancang agar benar-benar menjadi alat transformasi menuju pembangunan berkelanjutan? Kemudian bagaimana peran manajemen kinerja ASN sebagai pelaksana program-program prioritas pembangunan dirombak agar tak lagi sekadar administratif, tetapi menjadi motor penggerak perubahan mencapai keberlanjutan di setiap aspek?
Sebab, tanpa transformasi menyeluruh dalam cara pemerintah merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pembangunan, terutama melalui kinerja aparatur yang adaptif dan berdampak, maka visi besar berisiko tinggal sebagai narasi tanpa arah. Sudah saatnya kita bergerak dari sekadar memenuhi kewajiban perencanaan, menuju penciptaan nilai yang berkelanjutan. Bab berikutnya akan mengajak kita menyelami lebih dalam: seperti apa sesungguhnya desain manajemen kinerja ASN yang mampu menggerakkan perubahan nyata di era pembangunan berkelanjutan.