“Ketahanan perempuan, jejak sunyi menuju kesetaraan gender yang sejati”

Perempuan adalah makhluk yang istimewa. Dari tubuhnya lah kehidupan baru dilahirkan, dari tangannya anak-anak dibesarkan, dan dari hatinya kasih sayang ditanamkan. Perempuan adalah sumber kehidupan yang lembut namun kuat, penyembuh yang sabar dalam luka, sekaligus penjaga kehangatan dalam keluarga dan masyarakat. Di balik kelembutan itu, perempuan memikul beban sosial yang tak ringan: sebagai ibu, sebagai istri, sebagai pekerja, bahkan kadang sebagai tulang punggung ekonomi keluarga.

Namun, di balik segala keistimewaan itu, perempuan juga memiliki sisi kerentanan yang tak bisa diabaikan. Secara biologis, tubuh perempuan lebih rentan terhadap kelelahan dan penyakit tertentu karena siklus hormonal yang terus berubah. Secara emosional, perempuan umumnya memiliki empati dan perasaan yang lebih kuat yang sering kali menjadi kekuatan dalam membina hubungan, tetapi juga menjadi sumber kelelahan batin ketika tak mendapat ruang yang aman untuk berekspresi. Secara rasional, bukan berarti perempuan kurang logis, tetapi beban multitugas yang melekat secara sosial sering membuatnya kesulitan mengambil keputusan rasional untuk dirinya sendiri.

Kerentanan-kerentanan ini bukan kelemahan yang harus disembunyikan, melainkan fakta manusiawi yang membutuhkan perlindungan dan penguatan. Oleh karena itu, mewujudkan kesetaraan gender berarti memastikan bahwa setiap perempuan memiliki ruang untuk tumbuh dengan utuh tanpa diskriminasi, tanpa kekerasan, dan tanpa tekanan sosial yang membungkam suara serta perasaannya, sehingga ia dapat berdaya sebagai pribadi, ibu, pemimpin, dan penggerak perubahan dalam masyarakat.

Berdasarkan data, pengarusutamaan gender dalam program pembangunan Indonesia menunjukkan kemajuan signifikan: partisipasi politik perempuan meningkat, lebih banyak perempuan berada di posisi pengambil kebijakan, kekerasan terhadap perempuan menurun, usia kawin pertama perempuan naik sesuai target, dan alokasi belanja responsif gender (ARG) pada APBN/APBD telah memenuhi standar. Namun, apakah angka-angka tersebut sudah mencerminkan bahwa kesetaraan gender benar-benar hadir dalam kehidupan nyata perempuan? Apakah capaian tersebut sudah menyentuh akar persoalan, seperti ketahanan psikologis, ruang aman untuk berbicara, atau kekuatan perempuan dalam pengambilan keputusan di ranah domestik? Di sinilah pentingnya membedakan kemajuan administratif dengan perubahan substansial dalam kehidupan sehari-hari perempuan.

Kofi Annan, Sekjen PBB ke-7 menyatakan bahwa “There is no tool for development more effective than the empowerment of women”. Ya benar, perempuan adalah tonggak utama pembangunan. Sayangnya kita hanya berbicara pemberdayaan perempuan, tidak pada Ketahanan Perempuan. Angka-angka pencapaian kesetaraan gender hanya menggambarkan sedikit dari puncak gunung es, jauh di luar itu masih banyak terjadi ketidaksetaraan perempuan. Mari kita selami lagi pada penyebab yang paling mendasar yaitu ketidaksetaraan emosional yang membuat perempuan seringkali menjadi sasaran empuk kekerasan fisik maupun verbal.

Pemerintah sudah lama bergerak untuk mengatasi hal ini, akan tetapi program yang ada masih terlalu formal, simbolik, dan reaktif. Kita sering mendengar istilah ketahanan keluarga, tapi melupakan bahwa inti dari ketahanan itu adalah perempuan. Layanan pengaduan dan pelatihan parenting tidak cukup menyentuh akar persoalan. Tidak ada pendampingan yang benar-benar mendalam, tidak ada keberpihakan yang menyentuh aspek batin perempuan. Terlebih yang memprihatinkan lagi adalah perempuan yang bekerja pada lembaga atau perusahaan kerap luput dari perhatian. Mereka menghadapi tekanan ganda: profesional di kantor, ibu dan istri di rumah. Namun, tak tersedia ruang aman bagi mereka untuk mengelola tekanan itu. Perempuan seperti ini seringkali merasa harus “terlihat baik-baik saja”, karena ada karier dan citra yang harus dijaga.

Di sisi lain, anak-anak perempuan seringkali salah langkah, tidak paham batasan-batasan dan dimanipulasi perasaannya oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Hal ini terjadi karena Pola asuh patriarkal, kurangnya pendidikan tentang hak atas tubuh dan batasan relasi, serta budaya yang membentuk citra perempuan ideal sebagai sosok pasif dan penurut membuat mereka tidak dibekali ketahanan emosional yang cukup. Akibatnya, mereka kesulitan mengenali manipulasi, merasa bersalah saat menolak, dan tak berdaya saat berada dalam hubungan yang tidak sehat.

Jika kita sungguh ingin membangun ketahanan perempuan yang sesungguhnya, maka langkah-langkah kita tak bisa lagi setengah hati. Harus dimulai sejak dini, dari bangku sekolah dengan memasukkan “pelajaran ketahanan perempuan” di kurikulum tambahan sekolah. Anak-anak perempuan perlu diajarkan untuk mencintai tubuhnya, mengenali hak-haknya, dan memahami seperti apa hubungan yang sehat dan aman. Di masa remaja inilah mereka paling butuh dibekali, bukan hanya soal nilai pelajaran, tapi tentang harga diri.

Di tingkat yang lebih luas, setiap kota dan kabupaten perlu memiliki “Pusat Ketahanan Perempuan yang berkelanjutan” yaitu tempat yang bukan hanya menerima aduan, tapi juga memberi bekal kehidupan. Di sana, perempuan bisa belajar mengelola emosi, mengatur keuangan, membangun komunikasi sehat dengan pasangan dan anak, mempelajari hukum yang mengatur hak-hak perempuan, belajar bela diri, berolahraga, dan memperoleh keterampilan lainnya.

Di tempat kerja pun, sudah waktunya ada ruang aman yakni sebuah unit konseling rahasia agar perempuan bisa berkonsultasi, mencari solusi, atau sekadar menenangkan diri tanpa khawatir dianggap lemah atau tidak profesional. Karena di balik perempuan tangguh, sering tersembunyi beban yang tak terlihat.

Program “sekolah keluarga” perlu dikembangkan lebih jauh, dimana tidak sekadar penyampaian materi satu arah, tetapi menjadi ruang dialog yang hangat dan inklusif. Namun agar dampaknya lebih merata, program ini perlu ditransformasikan menjadi gerakan edukatif yang masif dan diperluas ke sekolah-sekolah, tempat bekerja, tempat ibadah, komunitas lokal, hingga media sosial, sehingga seluruh lapisan masyarakat bisa terlibat aktif.

Dan yang tak kalah penting, kita butuh kampanye nasional yang berani bicara soal kekerasan emosional dan verbal. Jenis kekerasan yang sering dianggap “biasa” padahal perlahan menghancurkan jiwa, karena perempuan tak hanya butuh dibela saat sudah terluka, tapi dijaga sebelum luka itu terjadi.

Di akhir kata, tulisan ini adalah media untuk menyuarakan “Ketahanan Perempuan” yang mungkin luput dari aksi-aksi kesetaraan gender. Pemerintah, akademisi, filantropis, ataupun aktivis yang membaca wacana ini, mari kita sama-sama memperjuangkan kesetaraan gender dari sumber itu sendiri yaitu ”Perempuan”, karena perempuan yang kuat, tenang, dan cerdas adalah penyokong keluarga yang tangguh, generasi yang berkualitas, dan bangsa yang beradab. Ketahanan perempuan bukan hanya urusan perempuan. Ini adalah urusan bangsa. Kita harus hadir lebih awal, mencegah sebelum luka, mendampingi sebelum runtuh. Ketika setiap perempuan merasa aman, dimanapun dia berada, dan diberi kesempatan untuk tumbuh tanpa takut, maka di sanalah kesetaraan gender menjadi nyata, bukan sekadar wacana.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *