Adab Lebih Tinggi dari Ilmu: Suara Seorang Siswa tentang Ruang Belajar.

Berita, opini701 Dilihat

Opini : Axell Nizham Alfarisi, Siswa SMP Negeri 1 Kota Bukittinggi

Sejak dahulu, para ulama selalu mengajarkan satu prinsip yang sederhana namun abadi: “Adab lebih tinggi dari ilmu.” Kalimat ini begitu sering kita dengar, tetapi sayangnya, jarang sungguh-sungguh kita resapi.

Ilmu memang penting. Tanpa ilmu, manusia akan berjalan dalam kegelapan. Tetapi ilmu hanyalah cahaya. Ia bisa menerangi, namun juga bisa membakar. Agar cahaya itu tidak menjadi api yang menghanguskan, dibutuhkan wadah yang bernama adab.

Sebagai seorang siswa yang masih belajar di bangku SMP, saya sering merenung: apakah tujuan kita belajar hanya sekadar mengumpulkan nilai, ranking, dan sertifikat? Atau ada sesuatu yang lebih besar dari itu—yakni membentuk kepribadian yang beradab?

Di ruang les, kita sering menjumpai interaksi yang seharusnya hangat, namun kadang menjadi kaku atau bahkan menyinggung. Ada guru yang merasa dirinya pemilik kebenaran mutlak, hingga lupa menghargai perasaan murid. Ada murid yang merasa lebih pintar dari gurunya, hingga lupa menundukkan ego.

Padahal, ilmu sejatinya hanyalah jembatan. Yang membuat perjalanan belajar menjadi indah adalah adab—rasa saling menghormati, kesabaran dalam mengajar, kerendahan hati dalam menerima, serta kejujuran dalam mencari.

Guru sejati bukan hanya orang yang mentransfer ilmu, tetapi yang menanamkan teladan. Murid sejati bukan hanya yang cerdas menjawab soal, tetapi yang berani merendahkan hati di hadapan ilmunya. Ketika adab hilang, maka proses belajar kehilangan maknanya.

Bayangkan sebuah pohon. Ilmu adalah cabang, buah, dan daun yang membuat pohon itu tampak megah. Tetapi akar pohon adalah adab. Tanpa akar, pohon akan tumbang meski daunnya lebat. Begitulah manusia: setinggi apa pun ilmu yang ia miliki, tanpa adab ia rapuh dan berpotensi merusak.

Sejarah membuktikan, banyak peradaban hancur bukan karena kurangnya orang pintar, tetapi karena hilangnya adab. Banyak konflik lahir bukan karena kurangnya rumus, teori, atau teknologi, melainkan karena manusia gagal menjaga etika dalam berhubungan dengan sesama.

Filosofi Minangkabau pun sejalan dengan ini. Pepatah adat berkata: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.” Artinya, perilaku dan adab menjadi dasar utama, sementara ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai luhur. Ada pula pepatah: “Nan tuo dihormati, nan tangah disayangi, nan ketek dibaok marindu.” Inilah ajaran agar setiap tingkatan umur saling menghargai dengan adab.

Bagi saya, pendidikan sejati bukan sekadar mencetak manusia pintar, tetapi mencetak manusia berkarakter. Nilai ujian hanya berlaku sebentar, tetapi nilai adab berlaku sepanjang hidup.

Adab mengajarkan kita untuk menghargai guru, bukan karena guru selalu benar, melainkan karena beliau tulus membimbing. Adab mengajarkan guru untuk menghargai murid, bukan karena murid selalu berprestasi, melainkan karena mereka sedang berproses menjadi manusia.

Ketika adab ditegakkan di ruang les, ilmu akan menjadi cahaya yang menuntun. Tetapi ketika adab diabaikan, ilmu hanya akan menjadi hiasan kosong yang melahirkan kesombongan.

Ilmu akan membuat kita tahu jalan. Tetapi adab akan membuat kita memilih jalan yang benar.

Itulah sebabnya, saya percaya bahwa masa depan bangsa ini bukan hanya ditentukan oleh berapa banyak orang pintar yang kita hasilkan, tetapi oleh seberapa banyak manusia beradab yang kita lahirkan.

Peradaban besar selalu lahir dari manusia yang menjunjung adab setinggi langit. Seperti kata Buya Hamka: “Ilmu itu adalah hiasan diri, tetapi adab adalah cahaya hidup.”

Maka, jika saya boleh memilih: jadilah orang sederhana yang beradab, daripada orang pintar yang kehilangan adab. Sebab adab adalah jiwa dari ilmu itu sendiri.

Posting Terkait

Jangan Lewatkan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *