Penutupan Stasiun Lambuang Bukittinggi: Simbol Mandeknya Inovasi Pemko dalam Pengembangan UMKM dan PKL

Bukittinggi — Keputusan Pemerintah Kota Bukittinggi untuk menutup Stasiun Lambuang, pusat kuliner yang digadang-gadang menjadi ikon baru wisata dan ekonomi kerakyatan, menuai beragam reaksi dari publik. Sejumlah pihak menyayangkan langkah ini, bahkan menilainya sebagai bentuk ketidakmampuan Pemko dalam berinovasi dan menjaga kesinambungan pengembangan usaha bagi pelaku UMKM dan pedagang kaki lima (PKL).

Stasiun Lambuang, yang baru diresmikan pada 2024 oleh Menteri BUMN Erick Thohir, merupakan hasil kolaborasi strategis antara pemerintah dan PT KAI. Area bekas stasiun kereta api ini disulap menjadi sentra kuliner tradisional Minangkabau, yang diisi oleh lebih dari 100 pelaku UMKM. Tak hanya menjadi tempat mencari nafkah, lokasi ini juga menjadi magnet wisatawan yang ingin mencicipi ragam masakan khas Minang dalam suasana yang rapi dan tertib.

Namun, pada Mei 2025, Pemko Bukittinggi secara resmi memutus kontrak sewa lahan dengan PT KAI, dengan alasan efisiensi anggaran. Alasan tersebut dinilai tidak cukup kuat, mengingat Stasiun Lambuang telah membuktikan dirinya sebagai pusat aktivitas ekonomi produktif di jantung kota.

Penutupan ini berpotensi membawa sejumlah kerugian bagi daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Di antaranya:

Hilangnya ruang usaha bagi ratusan UMKM, yang kini harus mencari tempat baru dengan biaya sewa lebih tinggi dan lokasi yang belum tentu strategis. Adapun dampak lain nya adalah Penurunan jumlah kunjungan wisatawan, yang sebelumnya menjadikan Stasiun Lambuang sebagai destinasi utama di samping Jam Gadang dan Pasar Atas.

Di sisi lain, muncul pula sorotan terhadap pengelolaan lahan oleh Pemko. Sempat muncul laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengenai potensi kerugian negara sebesar Rp1,8 miliar karena pembangunan permanen di atas lahan sewa. Namun, pasal larangan pembangunan permanen tersebut ternyata telah dicabut, sehingga dugaan kerugian tersebut tidak relevan lagi secara hukum.

Pengamat ekonomi daerah dan sejumlah aktivis UMKM menyebut penutupan ini sebagai indikasi lemahnya visi pembangunan ekonomi inklusif oleh Pemko Bukittinggi. Alih-alih mengembangkan potensi yang sudah ada, pemerintah justru memilih untuk mundur dari sebuah model kolaborasi publik-swasta yang terbukti berhasil secara fungsional dan sosial.

“Ini bukan sekadar soal sewa lahan, tapi soal political will dan kemampuan pemerintah menciptakan ekosistem usaha yang sehat bagi rakyat kecil. Ketika satu model sukses dimatikan begitu saja, apa yang bisa kita harapkan untuk masa depan UMKM di kota ini?” ujar salah satu pelaku usaha kuliner yang sebelumnya berjualan di Stasiun Lambuang.

Pemerintah Kota Bukittinggi kini ditantang untuk membuktikan komitmennya terhadap pemberdayaan UMKM secara nyata, bukan hanya dalam retorika. Penutupan Stasiun Lambuang seharusnya menjadi momentum refleksi—apakah kota ini ingin tumbuh dengan melibatkan rakyat kecil, atau justru kembali pada model pembangunan eksklusif yang berpihak pada segelintir pihak.

Dengan meningkatnya tekanan publik dan banyaknya pelaku UMKM yang terdampak, Pemko Bukittinggi diharapkan segera memberikan solusi alternatif, baik dalam bentuk relokasi yang layak maupun pembukaan ruang usaha baru dengan konsep yang lebih berkelanjutan.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *